BERITA PILKADA SUMENEP 2015

Kamis, 30 Agustus 2012

Hamparan Migas Di Pulau Madura Bagai Madu Negara


Siapa Menikmati Migas Madura, Lokal atau Asing?

Dari mana biaya (modal) untuk membentuk Provinsi Madura? Pertanyaan ini kerap muncul manakala dikemukakan perihal aspirasi masyarakat Madura yang menghendaki agar Madura menjadi Provinsi. Dan pertanyaan itu kerap terlontar
, bukan hanya datang dari kalangan masyarakat luar Madura (bukan orang Madura) sebut saja masyarakat di Jakarta. Pertanyaan itu bahkan sering mengemuka di kalangan masyarakat Madura sendiri. Apa dasar pertanyaan itu, tidak jelas adanya, mengapa mereka melontarkan pertanyaan yang mendiskreditkan orang Madura. Bisa jadi dikarenakan faktor ketidak tahuan, atau bahkan mungkin pada (secara sengaja) upaya pembunuhan karakater orang Madura. Padahal, bicara modal untuk membangun provinsi Madura, tentu sangat banyak untuk Madura. Mulai dari sector perikanan, pertanian, perkebunan, hutan, tembakau, garam, hingga pada potensi Minyak dan Gas (Migas) yang sangat melimpah. Dan hal ini tentu belum banyak diketahui masyarakat luas. Dari sektor Migas misalnya, secara faktual hingga saat ini Madura menjadi pensuplai kebutuhan Gas sebesar 60 % (melalui pipa bawah laut) ke Kawasan Industri Jawa Timur, seperti Sidoarjo, Surabaya, Gresik dan lainnya. Gas ke Jawa Timur itu, disuplai dari Gas Pegerungan yang terletak di Pulau Kangean (Sumenep) dan Gas Blok Maleo I yang terletak di Perairan Selatan Pulau Giligenting (Sumenep).
Lalu, apa masih ada yang (berani) menyanggah, Madura tak punya potensi alam? Potensi Migas Madura, tentu saja tidak hanya yang ada di Pagerungan atau di Maleo. Setidaknya, sejak tahun 90-an silam, ada dugaan, ladang Migas di Madura itu banyak terhampar diberbagai sisi Madura dari daratan hingga lautan. Saking besarnya potensi Migas Madura, ada yang mengatakan kalau Madura itu ‘madunya’ Negara. Dalam arti, kalau Negara ini (NKRI=Negara Kesatuan Republik Indonesia) mau mengatasi krisis multidimensi yang menerpanya saat ini, salah satunya bisa dengan memaksimalkan potensi Migas di Madura. Seperti dikatakan, Syarifudin, Penasehat Umum Ormas FKMLJ (Forum Komunikasi Lintas Madura Jakarta), Madura itu bisa dikatakan ‘duduk’ di atas ladang Minyak dan gas. “Dengan kata lain dibawah Pulau Madura itu terhampar ladang Migas yang jumlahnya bisa mencapai miliaran kaki kubik. Hal inilah, yang menjadikan Madura itu panas, gersang, dan sulit ditanami padi,” ujar Syarifudin kepada SDO. Dikatakan, saya sependapat dengan temuan (peta=desain) Migas di Madura yang dibuat oleh LSM Jatam (Jaringan Advokasi Tambang) Jakarta. “Bahwa hamparan Migas dengan volume miliaran kaki kubik, ada di Madura. Potensi Migas yang ditemukan (dieksploitasi) saat ini, belum apa-apa, baru sebagian kecil saja,” tutur Syarifudin. Seperti di Pulau Giligenting (Sumenep), kata Syarifudin, bukan hanya di Maleo I saja, tetapi ada sejumlah titik gas yang bisa di eksploitasi hingga 1500 tahun. “Silahkan, percaya atau tidak, dengan angka 1500 tahun ini, sebab yang pasti saya sudah mendapat informasi adanya titik gas yang demikian besar di Pulau Giligenting itu, hanya saja penelitian modern belum bisa menjangkau adanya sumber gas yang demikian hebat di Pulau Giligenting,” ujar Syarifudin.
PT. Energy Mega Persada
Hal senada dikatakan Yosef, SA, tokoh muda Sumenep, bicara potensi Madura, salah satunya adalah potensi Migas. “Titik Migas di Madura dari Barat hingga Timur, yang lambat laun, sumber-sumber Migas Madura, satu persatu mulai ditemukan. Buktinya, sampai kini sudah banyak ladang atau sumur yang dieksplorasi dan diekspolitasi menghasilkan Migas. Baik dari sumber yang ada di Kabupaten Bangkalan di barat, hingga Sumenep di ujung timur,” kata Yosef, SA, ketika di konfirmasi SDO.
Dan untuk diketahui, di antara 4 kabupaten di Madura, Kabupaten Sumenep memiliki potensi Migas yang paling kaya. “Belakangan, sumber Migas tidak hanya ditemukan di Pagerungan, tapi juga di beberapa titik lainnya seperti Gas di Blok Maleo (Giligenting) yang saat sudah berproduksi,” kata Yosef. Bahkan sejumlah titik Migas di Sumenep, lanjutnya, tengah dilakukan penelitian seismik (penelitian permukaan dasar laut) terkait dengan ada tidaknya potensi Gas atau Minyak di suatu lokasi. “Pastinya, hingga saat ini banyak Kontractor Production Sharing (KPS) yang ambil bagian mengelola tambang migas di Sumenep. Antara lain, ARCO-Kangean Block, Trend Java Sea Block, Masalembu Shell, British Petroleum Sakala Timur, Mobile Oil, Amco Indonesia, Hudbay Oil International, Anadarko, Petronas Carigali, dan Santos Oil,” jelas Yosef.
Dikatakan, sumber Migas terbesar saat ini, yang ada di Pagerungan (Pulau Kangean) dipercayakan pemerintah kepada PT Energy Mega Persada (EMP) Kangean Limited. Dan kabarnya, EMP memperpanjang kontrak untuk mengelola sumur Migas lain, tepatnya di sumur Migas di Terang Sirasun dan Batur. “Selain di Pagerungan, Migas juga ditemukan di titik Terang Sirasun, dan Batur, masih banyak lagi sumur kandungan Migas yang ditemukan. Sedikitnya, ada 6 titik Migas yang ditemukan dan rencana untuk dieksplorasi. Pengeboran Migas di 6 titik tersebut akan dilakukan oleh 2 investor dari luar negeri, yakni PT Anardako dan PT Petronas Carigali,” ujar Yosef.
Kemudian potensi Migas di Kabupaten Sampang, lanjut Yosef, adalah sumur Migas Oyong yang berlokasi di lepas pantai Camplong, dan kini sudah berproduksi. “Volume Sumur Oyong yang dikelola oleh PT Santos Ltd. diperkirakan mencapai 6-8 tahun dengan kapasitas produksi 20.000 barel per hari. Bersamaan dengan itu, pihak Santos saat ini juga sedang melakukan tahapan eksplorasi akhir Sumur Jeruk di perairan lepas pantai Sreseh, yang kemudian akan dilanjutkan dengan eksploitasi gas bumi,” kata Yosef. Selain Santos, lanjutnya, Petronas Carigali (PC) Karapan Ltd juga melakukan pemboran minyak bumi sumur FORAM dan POLLEN di lepas pantai Sampang Utara.
Pada Maret 2006 lalu, 4 sumur sudah dibor. Namun, dikarenakan nilai volumennya tidak ekonomis, Petronas Carigali (PC) Karapan Ltd. menghentikan pengeboran. “Lokasi sumur POLLEN yang akan dieksplorasi berada di lepas pantai Ketapang sejauh 11.500 fet atau 70 kilometer. Sedangkan sumur FORAM berada di radius 7.000 fet atau 90 kilometer dari bibir pantai dengan kedalaman rata-rata 60 meter,” tutur Yosef. Selain Petronas Carigali (PC) Karapan Ltd. dan Santos Ltd., perusahaan asing yang sudah melakukan eksplorasi Migas di Kabupaten Sampang adalah Medco Ltd. di Desa Gunung Eleh, Kecamatan Kedungdung. “Dan Migas di Kabupaten Bangkalan, tambahnya, dikelola oleh perusahaan pengeboran minyak Kodeco sejak tahun 1985 telah lama mengeksploitasi minyak di lepas pantai utara Bangkalan, yakni di perairan Kecamatan Sepulu,” kata Yosef.
Melihat fakta-fakta diatas, kata Yosef, pihaknya setuju dan sependapat dengan apa yang dikatakan Syarifudin. Bahwa Madura ‘duduk’ di atas hamparan ladang Migas. “Sehingga tak ada alasan bagi siapapun, apakah pemerintah pusat (Jakarta), Pemrov. Jatim untuk tidak mengatakan Madura kaya potensi Migas,” kata Yosef.
Harus Transparan
Persoalannya, ternyata ada banyak masalah pada pengelolaan potensi Migas Madura, seperti dalam hal bagi hasil yang dinilai tidak transparan. “Hal ini terungkap, dari apa yang dikeluhkan Pemkab Sumenep pada November 2006 lalu. Meski banyak sumur yang sudah dibuat dan sumber daya alam dikeruk, tapi kompensasi hasil yang diperoleh Sumenep melalui dana perimbangan Migas (DPM) dari pusat (Jakarta) tidak pernah jelas. Bahkan beberapa tahun belakangan, Sumenep tidak mendapat bagi hasil Migas,” kata Syarifudin.
Menurut Syarifudin, alasan kenapa Sumenep tidak dapat dana bagi hasil (DBH) Migas, lantaran karena produksi sumur Migas di Pangerungan mengalami penurunan. Sehingga, pada 2005 yang lalu, Sumenep tidak menerima dana perimbangan Migas sama sekali. “Alasan (penurunan volume) ini, saya kira penuh dengan spekulasi (politik), dan sulit diterima secara logika masyarakat. Bisa saja alasan itu dibuat-buat (akal-akalan) agar Sumenep tidak mendapat bagi hasil Migas. Hal tentu saja, agar masyarakat Sumenep jangan buru-buru sejahtera,” tegas Syarifudin. Menjadi pertanyaan, lanjutnya bagaimana masyarakat akan tahu bahwa telah terjadi penurunan volume Pegerungan. “Sebab, offshore Pagerungan ka nada di laut, dan tidak sembarang orang bisa masuk ke area offshore (kantor) EMP Pagerungan,” kata Syarifudin.
Sekedar penyegaran, pada 2002 silam, Sumenep menerima dana perimbangan Migas sebesar Rp 31 miliar. Namun, karena ada salah penghitungan dari pusat, maka di yang terima Sumenep hanya sebesar Rp 23 miliar. Akibatnya, pada tahun 2003, Sumenep harus mengembalikan uang tersebut ke pusat (Jakarta) sekitar Rp 8.497.102.142. Rinciannya, dari gas alam sebesar Rp 7.493.455.828 dan minyak bumi Rp 1.003.646.314. Sedangkan penerimaan dana perimbangan pada tahun 2003 triwulan pertama Sumenep menerima dana perimbangan sebesar Rp 6.781.852.124. Maka, penerimaan dana perimbangan Tahun 2003 Rp 6.781.852.124. tersebut tidak diterima Sumenep dan langsung disetorkan ke pusat untuk membayar kelebihan penerimaan dana perimbangan pada tahun 2002 yang lalu sebesar Rp 8,4 miliar. Dengan demikian, Sumenep masih mempunyai tunggakan sebesar Rp 1,7 miliar pada tahun 2003. Sehingga, pada penerimaan tahun 2004 hanya sebesar Rp 3 miliar dan langsung dipotong untuk membayar tunggakan tahun lalu. Sehingga, jumlah dana yang diterima Sumenep hanya sekitar Rp 1,3 miliar.
Transparankah dana bagi hasil Migas untuk Sumenep? Dan bagaimana dengan Pamekasan, Sampang dan Bangkalan?
Dikuasai Asing
Persoalan lain berkenaan dengan potensi Migas Madura, adalah berkenaan dengan ada dugaan Migas Madura telah ‘dikuasai’ perusahaan multinasional (perusahaan asing). Menurut Saiful, Wakil Ketua Yayasan Ario Danurwendo, yayasannya masyarakat Giligenting, bahwa penguasaan asing terhadap potensi Migas Madura hampir 90 %. “Saya kira hanya 10 persen saja yang dikuasai (dikelola) oleh perusahaan lokal (Nasional) dalam hal ini pihak Pertamina. Selebihnya, potensi Migas Madura dikuasai asing, mulai dari Santos, Medco, Kodeco, Petronas dan lainnya.
Kondisi ini, jelas membawa pada satu kesimpulan bahwa yang menikmati hasil Migas Madura khususnya, ya pihak (perusahaan) asing,” tegas Saiful. Sebab dalam ekplorasi maupun eksploitasi Migas, lanjutnya, pemerintah maupun DPR RI, tidak bisa melakukan pengawasan langsung. Sehingga ada banyak sekali spekulasi perusahaan asing dalam mengelola Migas Madura khususnya. “Sebut, saja ketika dalam ekplorasi gagal, atau dalam perjalanan ekploitasi Migas ketahuan volumennya kecil, maka dengan mudah perusahaan asing itu, tetap membebankan biaya (ekplorasi maupun ekploitasi) masuk dalam cost recovery. Sementara pada ukuran volume produksi sumur Migas, tidak ada indikator yang jelas, bahwa angka volume itu dikatakan dengan sebenar-benarnya oleh perusahaan asing yang mengelola sumur Migas,” kata Saiful.
Dikatakan, potret pengelolaan Migas yang terjadi di Madura itu, tentu bukan hal baru, sebab hal yang demikian telah lama terjadi di daerah lain di se-antero Indonesia. “Persoalan kemudian, kenapa pengelolaan Migas didominasi perusahan asing? Padahal, seandainya pengelolaan Migas itu dilakukan oleh perusahaan nasional, yang melibatkan para putra daerah, maka kesejahteraan masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Madura khususnya akan mudah dicapai,” kata Saiful.
Logika pikir masyarakat, lanjutnya, adalah bertolak dari pertanyaan, mengapa yang punya lahan atau ladang Migas malah lebih sedikit ketimbang dengan perusahaan asing yang tak punya ladang Migas. “Artinya, pemilik ladang Migas lebih banyak jadi penonton, tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri, apa kata dunia,” kata Saiful .
Persoalan keahlian dalam mengelola Migas, menurut H. Syafi’i, Sekjen Ikama (Ikatan Keluarga Madura) bisa dilakukan alih tekhnologi. “Saya pikir manusia Madura (Indonesia) dengan orang asing sama saja bobotnya, keahliannya, kepintarannya. Bahkan jangan salah, belum tentu keuletan orang asing bisa menyaingi kegigihan orang Madura. Menurut saya, yang membedakan dalam hal pengelolaan Migas, adanya kesempatan untuk menyerap keahlian dibidang pengelolaan Migas,” kata H. Syafi’i, saat ditemui SDO.
Untuk itu pihaknya, menghimbau kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun Pemkab yang ada di Madura untuk memberi kesempatan (mencari jalan) adanya alih atau serap tekhnologi (khususnya bidang pengelolaan Migas) kepada para putra daerah. “Demikian halnya kepada perusahaan-perusahaan asing (Perminyakan & Gas) yang konon saat ini mayoritas mengelola Migas Madura khususnya, pun memberikan sebagian atau seluruh ilmunya kepada putra daerah,” kata H. Syafi’i.
Menurutnya, sudah saatnya kontribusi potensi Migas Madura, misalnya tidak melulu dalam bentuk CD atau Community Development (dana pengembangan masyarakat) yang notabene berupa uang. “CD itu bisa juga diberikan dalam bentuk alih tekhnologi kepada para putra-putri Indonesia umumnya, putra daerah Madura khususnya,” kata H. Syafi’i.
Modal Bangun Provinsi
Sisi lain dengan adanya potensi Migas Madura mestinya menjadi salah satu modal untuk membangun Madura menjadi Provinsi. Seperti diungkapkan M. Kasan, Ketua LSM Forum Masyarakat Giligenting (FMG), keberadaan potensi Migas di Madura mestinya menjadi modal (secara ekonomi) untuk membentuk Provinsi Madura. “Dengan kata lain, Madura bisa membangun apa saja, termasuk menaikkan status menjadi provinsi, apa ia mau membangun Madura ketika potensi Migas di Madura sudah habis. Saya berharap jangan sampai ada paradigma yang demikian, dikalangan masyarakat Madura, terutama dikalangan aparat Pemkab se-Madura,” kata M. Kasan, saat dikonfirmasi SDO. Menurutnya, dana bagi hasil (DBH) Migas yang masuk ke Madura masih bernilai miliaran rupiah, sehingga bisa dialokasikan untuk pembiayaan Madura menjadi Provinsi. “Sebut saja Sumenep, pada tahun 2002 saja menerima DBH Migas sebesar Rp 23 Miliar. Alangkah bijaksananya, kalau Pemkab dengan disetujui DPRD Sumenep waktu itu, mengalokasikan 50 % dana DBH itu untuk pembentukan Provinsi Madura,” ungkap M. Kasan. Dikatakan, hingga saat ini pihaknya tidak tahu kemana DBH Migas Sumenep selama ini diserap. “Sebab setahu kami, APBD Sumenep setiap tahunnya tidak mengalami defisit, sehingga saya kira tidak perlu subsidi. Dalam arti lain, kemungkinan besar DBH itu masuk ke kantong-kantong aparat pemerintah Pemkab dan DPRD Sumenep,” kata M. Kasan.
Hal senada dikatakan Yosef, tak terbantahkan, Kabupaten Sumenep selama ini, dinilai sebagai kabupaten terkaya di Madura. Sehingga seharusnya menjadi pelopor untuk mau menjadi donatur pembentukan Provinsi Madura. “Saya yakin kalau Sumenep sudah ‘bergerak’ akan diikuti oleh Pemkab lainnya di Madura, apakah itu Pamekasan, Sampang maupun Bangkalan,” kata Yosef.
Selain untuk program pembentukan Provinsi Madura, kata Yosef, melihat demikian besar potensi Migas Madura, maka empat Pemkab di Madura bisa membangun kilang minyak (mini) sendiri. Seperti dikemukakan pemerintah pusat, pada 26 Februari 2005 silam, bahwa daerah diperbolehkan membangun Kilang Minyak, dikarenakan prospeknya ke depan masih bagus. “Kendati pemerintah waktu itu mengingatkan untuk membangun kilang minyak membutuhkan investasi yang besar dan tidak murah. Untuk membuat kilang minyak berkapasitas 100 ribu barel minyak per hari saja setidaknya membutuhkan dana sekitar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 15 triliun,” tutur Yosef. Menurutnya, soal biaya bisa dilakukan kerja sama dengan daerah lain yang sudah mapan keuangannya. “Atau, soal dana bisa bekerja sama dengan investor luar negeri. Dengan bentuk pinjaman lunak (Soft Loan),” kata Yosef. Sementara persoalan bahan atau minyak mentah, lanjutnya, banyak terdapat di Madura. “Jadi tidak usah khawatir soal akan ada kendala minyak mentahnya berasal dari mana, seperti pernah dikemukakan Purnomo Yusgiantoro (Menteri ESDM) sebelumnya,” kata Yosef.
Penulis : Saiful Anam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info 14 Terkini