BERITA PILKADA SUMENEP 2015

Sabtu, 11 Agustus 2012

Akuntabilitas LSM, Kepentingan Siapa?

Tidak banyak yang menanggapi, terutama dari kalangan LSM sendiri, ketika isu akuntabilitas mencuat dalam beberapa kali pemberitaan di Kompas beberapa hari belakangan ini. Juga menjadi sebuah pertanyaan ada apa dibalik pemberitaan itu?
Kenapa pemberitaan yang memang tidak se-seksi isu resufle kabinet Indonesia Bersatu itu kerap muncul. Ada apa dengan akuntabilitas LSM? Benarkah isu ini turut menjadi komoditi wacana politik kepentingan penguasa saat ini?, ataukah LSM di negara ini memang sudah tidak akuntabel dan tidak peduli dengan prinsip “akuntabilitas” itu sehingga patut untuk disebut sebagai keranjang sampah?, kepentingan siapa sebenarnya akuntabilitas LSM itu?. 
Tidak ada yang baru apabila isu akuntabilitas LSM ini tampil kepermukaan, hanyalah pengulangan seperti yang diberitakan Kompas (12/4). Terlebih apabila yang mewacanakannya adalah pemerintah atau juga mungkin sektor swasta yang kebijakan dan kepentingannya sering berseberangan dengan LSM.
Bicara tentang akuntabilitas LSM sebenarnya dapat dilihat dari sudut padang siapa yang meminta akuntabilitas itu sehingga juga akan dapat diprediksi apa kepentingan dibaliknya. Salah satu ciri akuntabilitas yang digaungkan oleh pemerintah adalah cenderung menafsirkan akuntabilitas LSM itu pada sisi finansial dan harus bersedia diikat dengan regulasi. Tujuannya untuk mengontrol dan memonitor dari mana uang yang ada pada LSM itu mengalir dan untuk apa saja digunakan, apa saja kerugian pemerintah karenanya, khususnya di sisi kepentingan politik (baik nasional maupun internasional) dan dalil nama baik dan keamanan negara.
Menitikberatkan persoalan akuntabilitas LSM pada sisi finansial dalam regulasi sangat sesuai logika karena uang adalah kebutuhan esensial bagi LSM (juga bagi organisasi apapun) untuk menunjang biaya operasional. Mustahil ada LSM mampu bertahan tanpa dukungan dana dalam waktu yang panjang, apalagi sampai bisa kritis dan vokal dalam keadaan “kelaparan”. Sungguhpun uang bukanlah segalanya.
Dalam kecenderungan global, akuntabilitas LSM itu juga menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk memonitor, mengontrol dan bahkan memborgol LSM, tergantung kepentingan pemerintah saat itu. Sebagai contoh, pemerintah AS sejak tragedi serangan teroris tahun 2001 lalu telah mewajibkan LSM-LSM yang ada di sana (yang sebagian besar adalah menjadi donor bagi LSM-LSM di negara berkembang dan terbelakang) untuk tidak menyalurkan dana bagi organisasi teroris yang ada dalam daftar pemerintah. Di Bangladesh, sebagai sebuah negara berkembang dan LSM di sana umumnya tujuan aliran donasi dalam bentuk uang, lain lagi model peraturan yang dibuat pemerintahnya. Setiap dana yang mengalir dari luar untuk LSM di Bangladesh harus melalui rekening pemerintah. Selain bertujuan untuk mengetahui dan memonitor aktifitas penggunaan dana, juga untuk mendapatkan pendapatan negara dari selisih kurs. Deskripsi diatas menunjukkan bahwa isu akuntabilitas LSM yang dilempar pemerintah tersebut sungguh sangat bergantung dengan kontekstual kepentingan politik saat itu.
Lalu dalam konteks LSM di Indonesia, adakah peluang pemerintah saat ini untuk mengatur akuntabilitas LSM untuk tujuan-tujuan seperti itu? Apabila kita tinjau dari trend perkembangan LSM sejak Orde Baru maka yang terbayang adalah kekhawatiran akan kembalinya pengekangan kebebasan berserikat dan berkumpul (terutama ber-LSM) serta mengekspresikan pendapat di muka umum dimana kedua hal tersebut modal identitas bagi LSM. Regulasi yang diberi label “Demi Transparansi dan Akuntabilitas LSM” seakan menjadi kerikil baru yang kembali harus dilalui dalam sehari-hari, apalagi bila dikaitkan dengan pola interaksi antara pemerintah dan sebagian besar LSM yang hingga saat ini cenderung bertentangan. Otoritas untuk membuat regulasi oleh pemerintah seakan-akan dimanfaatkan sebagai senjata untuk membidik LSM.
Tidak banyak LSM yang tumbuh dan bertahan di masa Orde Baru, kecuali bersedia menjadi LSM plat merah atau melacurkan diri agar tetap bertahan. LSM-LSM yang mencoba konsisten untuk memperjuangkan masyarakat marginal pada saat itu betul-betul tertatih-tatih berkembang di bawah represifnya sebuah rezim. Tinjuan singkat historis ini satu alasan kenapa LSM begitu resisten dan menolak campur tangan regulasi tentang LSM dari pemerintah. Namun bukan berarti tuntutan kepada LSM untuk transparan dan akuntabel berhenti sampai di sini. (www.kpmm.or.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info 14 Terkini