Tidak banyak yang menanggapi,
terutama dari kalangan LSM sendiri, ketika isu akuntabilitas mencuat dalam
beberapa kali pemberitaan di Kompas beberapa hari belakangan ini. Juga menjadi
sebuah pertanyaan ada apa dibalik pemberitaan itu?
Kenapa pemberitaan yang memang tidak
se-seksi isu resufle kabinet Indonesia Bersatu itu kerap muncul. Ada apa dengan
akuntabilitas LSM? Benarkah isu ini turut menjadi komoditi wacana politik
kepentingan penguasa saat ini?, ataukah LSM di negara ini memang sudah tidak
akuntabel dan tidak peduli dengan prinsip “akuntabilitas” itu sehingga patut
untuk disebut sebagai keranjang sampah?, kepentingan siapa sebenarnya
akuntabilitas LSM itu?.
Tidak ada yang baru apabila isu
akuntabilitas LSM ini tampil kepermukaan, hanyalah pengulangan seperti yang
diberitakan Kompas (12/4). Terlebih apabila yang mewacanakannya adalah
pemerintah atau juga mungkin sektor swasta yang kebijakan dan kepentingannya sering
berseberangan dengan LSM.
Bicara tentang akuntabilitas LSM
sebenarnya dapat dilihat dari sudut padang siapa yang meminta akuntabilitas itu
sehingga juga akan dapat diprediksi apa kepentingan dibaliknya. Salah satu ciri
akuntabilitas yang digaungkan oleh pemerintah adalah cenderung menafsirkan
akuntabilitas LSM itu pada sisi finansial dan harus bersedia diikat dengan
regulasi. Tujuannya untuk mengontrol dan memonitor dari mana uang yang ada pada
LSM itu mengalir dan untuk apa saja digunakan, apa saja kerugian pemerintah
karenanya, khususnya di sisi kepentingan politik (baik nasional maupun
internasional) dan dalil nama baik dan keamanan negara.
Menitikberatkan persoalan
akuntabilitas LSM pada sisi finansial dalam regulasi sangat sesuai logika
karena uang adalah kebutuhan esensial bagi LSM (juga bagi organisasi apapun)
untuk menunjang biaya operasional. Mustahil ada LSM mampu bertahan tanpa
dukungan dana dalam waktu yang panjang, apalagi sampai bisa kritis dan vokal
dalam keadaan “kelaparan”. Sungguhpun uang bukanlah segalanya.
Dalam kecenderungan global,
akuntabilitas LSM itu juga menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk memonitor,
mengontrol dan bahkan memborgol LSM, tergantung kepentingan pemerintah saat
itu. Sebagai contoh, pemerintah AS sejak tragedi serangan teroris tahun 2001
lalu telah mewajibkan LSM-LSM yang ada di sana (yang sebagian besar adalah
menjadi donor bagi LSM-LSM di negara berkembang dan terbelakang) untuk tidak
menyalurkan dana bagi organisasi teroris yang ada dalam daftar pemerintah. Di
Bangladesh, sebagai sebuah negara berkembang dan LSM di sana umumnya tujuan
aliran donasi dalam bentuk uang, lain lagi model peraturan yang dibuat
pemerintahnya. Setiap dana yang mengalir dari luar untuk LSM di Bangladesh
harus melalui rekening pemerintah. Selain bertujuan untuk mengetahui dan
memonitor aktifitas penggunaan dana, juga untuk mendapatkan pendapatan negara
dari selisih kurs. Deskripsi diatas menunjukkan bahwa isu akuntabilitas LSM
yang dilempar pemerintah tersebut sungguh sangat bergantung dengan kontekstual
kepentingan politik saat itu.
Lalu dalam konteks LSM di Indonesia,
adakah peluang pemerintah saat ini untuk mengatur akuntabilitas LSM untuk
tujuan-tujuan seperti itu? Apabila kita tinjau dari trend perkembangan LSM
sejak Orde Baru maka yang terbayang adalah kekhawatiran akan kembalinya
pengekangan kebebasan berserikat dan berkumpul (terutama ber-LSM) serta
mengekspresikan pendapat di muka umum dimana kedua hal tersebut modal identitas
bagi LSM. Regulasi yang diberi label “Demi Transparansi dan Akuntabilitas LSM”
seakan menjadi kerikil baru yang kembali harus dilalui dalam sehari-hari,
apalagi bila dikaitkan dengan pola interaksi antara pemerintah dan sebagian
besar LSM yang hingga saat ini cenderung bertentangan. Otoritas untuk membuat regulasi
oleh pemerintah seakan-akan dimanfaatkan sebagai senjata untuk membidik LSM.
Tidak banyak LSM yang tumbuh dan bertahan di
masa Orde Baru, kecuali bersedia menjadi LSM plat merah atau melacurkan diri
agar tetap bertahan. LSM-LSM yang mencoba konsisten untuk memperjuangkan
masyarakat marginal pada saat itu betul-betul tertatih-tatih berkembang di
bawah represifnya sebuah rezim. Tinjuan singkat historis ini satu alasan kenapa
LSM begitu resisten dan menolak campur tangan regulasi tentang LSM dari pemerintah.
Namun bukan berarti tuntutan kepada LSM untuk transparan dan akuntabel berhenti
sampai di sini. (www.kpmm.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar